
SUARAPUBLIKINDO.ID – Di negeri yang menjunjung tinggi demokrasi, seharusnya rakyat menjadi pusat perhatian setiap kebijakan. Namun kenyataannya, politik budi masih menjadi penyakit lama yang terus diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya.
Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan masyarakat, justru dijadikan alat untuk membayar jasa politik. Proyek-proyek strategi diberikan hanya kepada segelintir pengusaha yang dekat dengan penguasa. Akibatnya, rakyat kecil, terutama pemborong lokal dan pengusaha menengah, tersingkir dari persaingan. Mereka gulung tikar, sementara segelintir oligarki semakin mengakar.
Bukan hanya rakyat yang menjadi korban, instansi pemerintah dan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) pun ikut tersandera. Mereka menjalankan kebijakan yang sudah “diatur dari atas,” tanpa ruang untuk bersuara. Aparat yang mencoba melawan, sering mendapat tekanan atau bahkan dimutasi.
Lebih parahnya lagi, temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang seharusnya menjadi pintu masuk penegakan hukum, sering kali menguap tanpa kejelasan. Laporan-laporan pelanggaran, dugaan kerugian negara, hingga proyek mangkrak, hilang begitu saja di tengah jalan. Publik pun hanya bisa bertanya-tanya: sampai kapan praktik kotor ini terus terjadi?
Rakyat menanggung beban, sementara segelintir elit politik dan pengusaha menikmati hasil. Politik bola budi seolah menjadi kutukan yang menutup rapat ruang keadilan dan kesejahteraan. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin bangsa ini akan dikuasai sepenuhnya oleh kepentingan oligarki, sementara demokrasi hanya tinggal nama.
Kini waktunya masyarakat bersuara lebih lantang. Kontrol sosial dari media, LSM, sejarawan, dan masyarakat sipil harus terus digelorakan. Negara tidak boleh tunduk pada hukum budi. Karena ketika rakyat semakin ditekan dan dikhianati, yang tersisa hanyalah luka dan ketidakpercayaan.
Pertanyaannya: akankah bangsa ini berani memutus rantai politik budi, atau kita hanya akan terus menjadi penonton dari sebuah drama kekuasaan yang tak berkesudahan?


